Pemblokiran Telegram Dan Resiko Framing

Oleh SUWATNO
Guru Besar Komunikasi Organisasi
Kaprodi Pendidikan Ekonomi Sekolah Pascasarjana UPI
Dosen FPEB UPI
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan pemutusan akses aplikasi Telegram per 14 Juli 2017. Ada 11 Domain Name System (DNS) yang diblokir karena mengandung kanal-kanal yang dinilai banyak bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, cara merakit bom, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan undang-undang. Dengan cepat kebijakan tersebut menjadi issue nasional, bahkan global. Media sekelas Reuters mengeluarkan berita dengan judul Indonesia blocks Telegram messaging service over security concerns. Bahkan Al Jazeera dengan lebih jelas memberikan stressing point pada issue terorisme, dengan judul beritanya Telegram app ‘full of terrorist propaganda’ blocked.

Pemerintah setidaknya harus siap dengan tiga resiko. Pertama, tindakan tersebut dipandang merugikan secara sosial dan ekonomi bagi para pengguna Telegram yang jumlahnya sudah puluhan ribu di Indonesia. Karena selama ini mereka memanfaatkannya untuk kegiatan komunikasi sosial, sharing informasi dan bisnis. Kedua, pemerintah seolah menciptakan framing terhadap dirinya sendiri sebagai rezim yang semakin kurang demokratis. Dengan menggunakan legitimasi hukum dalam Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ITE dan didukung oleh pasal 33 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, pemerintah merasa berwenang memblokir situs-situs yang dianggap negatif. Namun, masyarakat khawatir jika kewenangan tersebut dijalankan secara sewenang-wenang.

Ketiga, Masyarakat dapat menafsirkan hal ini sebagai fenomena yang tidak tunggal, karena ia seolah menjadi satu paket dengan issue-issue lain yang bertema national security. Wajar jika muncul pandangan bahwa issue keamanan negara tersebut tengah dikapitalisasi demi agenda politik tertentu, salah satunya untuk mengeliminasi entitas-entitas sosial-politik yang dianggap mengancam NKRI.

Dalam ilmu komunikasi berlaku hukum aksi-reaksi. Aksi yang dilakukan oleh pemerintah adalah pesan berupa simbol-simbol yang dapat ditafsirkan secara bebas oleh masyarakat. Untuk itu, dalam kasus ini pemerintah harus lebih hati-hati, karena terorisme dan radikalisme merupakan tema yang sangat sensitif. Pemerintah seyogyanya tidak mendefinisikan radikalisme dalam porsi yang terlalu jauh dari konteks hubungannya dengan terorisme, Ia tidak boleh diasosiasikan secara liar (out of context) kepada agensi dan organ-organ tertentu yang eksis dalam masyarakat.

Namun sayangnya, cara komunikasi pemerintah kurang elegan, sehingga terkesan menciptakan framing radikalisme terhadap sebagian organ dalam masyarakat muslim. Apalagi momentumnya bertepatan dengan wacana Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017. Masyarakat boleh bertanya secara kritis, mengapa issue penutupan Telegram baru sekarang dilakukan, padahal pemerintah sudah memberi peringatan kepada mereka sebanyak enam kali sejak 29 Maret 2016. Apakah memang prosedurnya harus selama enam kali? Resikonya, justru pemerintah yang mendapatkan framing sebagai rezim yang menghalalkan segala cara dalam memperoleh legitimasi untuk menghancurkan lawan-lawan politiknya.

Nilai Dalam Teknologi Informasi

Pertanyaan filosofis yang seringkali dilontarkan dalam dunia akademis adalah, apakah teknologi yang didalamnya termasuk internet dan sosial media, bersifat bebas nilai (value free)? Setidaknya ada dua perspektif yang menjawabnya. Pertama, pandangan positivisme yang berpendapat bahwa teknologi itu bebas nilai. Yang memberi nilai, ideologi dan kepentingan terhadapnya adalah para penggunanya (users). Jika penggunanya baik maka teknologi tersebut juga akan baik. Semua tergantung siapa yang mengisi kontennya. Kedua, paradigma kritis yang memandang bahwa teknologi itu sarat nilai dan kepentingan. Hal ini karena penciptaan teknologi itu sendiri secara inherent sudah mengandung tujuan, nilai dan ideologi.

Dalam konteks ini, Telegram bukanlah teknologi yang bebas nilai, karena operator memiliki preferensi tersendiri dalam menentukan mana konten yang benar dan salah, yang baik dan buruk, yang indah dan jelek. Bahkan, pemerintah Indonesia dengan kekuasaan yang dimilikinya dapat mengintervensi dan merekomendasikan nilai-nilai seperti apa yang seharusnya dijalankan oleh aplikasi tersebut. Sehingga, sesungguhnya tidak ada kemerdekaan dan kebebasan penuh bagi setiap pengguna aplikasi. Teknologi informasi dapat dikontrol oleh kekuasaan.

Kekhawatiran bahwa pemerintah berpotensi menjadi semakin tidak demokratis dalam memberikan kebebasan informasi bukanlah isapan jempol belaka. Hal ini karena pemerintah memang memiliki kekuasaan dan pengaruh untuk menentukan nilai, ideologi dan kepentingan dari teknologi informasi yang ada. Kelak jika banyak nilai dalam masyarakat yang dipandang tidak sesuai dengan kepentingan rezim penguasa, tidak menutup kemungkinan apa yang dialami Telegram saat ini juga terjadi pada aplikasi yang lain.

Artikel ini dimuat di di rubrik opini Harian pikiran rakyat edisi Kamis 20 Juli 2017